Jumat, 06 Februari 2009

Wartawan jawapos meliput situs dimesir


Mengunjungi Mesir, Negeri dengan Banyak Situs Spektakuler (2)
Siapkan Banyak Uang Receh ke Makam Imam Syafi'i

Sebagai salah satu negeri tempat lahirnya peradaban besar tertua di dunia, Mesir mempunyai banyak situs bersejarah. Hampir setiap kota di negara berpenduduk 75 juta jiwa itu mempunyai peninggalan peradaban kuno

KARDONO SETYO, Kairo

MESIR sangat beruntung mempunyai banyak tempat eksotik yang selalu menjadi jujukan para pelancong. Tak perlu jauh-jauh. Di Kairo, ibu kota Mesir, terdapat banyak situs menarik. Untuk wisata religi, misalnya, peziarah bisa berkunjung ke kawasan Hay Syafey, bagian kota lama Kairo. Di sana ada makam Imam Syafi'i, imam besar yang menjadi mazhab bagi banyak umat Islam di Indonesia, bahkan kawasan Asia Tenggara.

Di dalam kompleks makam, ada sebuah cetakan tapak kaki di batu yang dipercaya merupakan tapak kaki Rasulullah Muhammad. Cetakan ini didatangkan langsung dari Arab Saudi. ''Memang tidak bisa dipastikan, namun dipercaya merupakan jejak Rasul,'' kata Syamsul Alam, staf Kedutaan Besar RI di Kairo, yang menemani Jawa Pos.

Suasana makam Imam Syafi'i itu mirip kompleks makam Sunan Ampel Surabaya. Kendati tak dipungut biaya sama sekali, peziarah harus siap membawa uang receh dalam jumlah banyak. Sebab, di sana banyak pedagang kaki lima, pengemis, serta juru kunci makam yang selalu mensyaratkan sedekah bagi pengunjung. Paling tidak, harus menyiapkan pecahan kecil sekitar 20 pound (sekitar Rp 50 ribu).

Tak jauh dari makam Imam Syafi'i, ada lagi tempat menarik. Yakni, Qal'ah Salahudin atau Salahudin Citadel (Benteng Salahudin). Benteng ini didirikan oleh Sultan Saladin, salah satu sultan besar di era Perang Salib.

Kabarnya, Saladin memilih sebuah gunung, membelah, memotong, dan mendirikan benteng seluas 10 hektare di atasnya pada 1183.

Benteng itu letaknya sangat strategis. Dari tempat ketinggiannya, seluruh Kairo dapat terlihat. Saat ini, di dalam kompleks benteng juga terdapat dua masjid besar, bekas istana kerajaan, dan pusat pemerintahan. Selain itu, ada monumen militer Mesir untuk mengenang kemenangan perang melawan Israel pada 1973.

Tidak tanggung-tanggung, Mesir memajang semua arsenalnya ketika berupaya merebut kembali Gurun Sinai tersebut. Jadi, di dalam monumen (dalam benteng), dipajang pula empat pesawat Sukhoi, empat pesawat pemburu, kapal amfibi, dan puluhan artileri yang dipakai dalam perang Yom Kippur atau juga disebut Perang Ramadan itu. Bisa dibayangkan betapa luasnya benteng tersebut.

Benteng itu juga pernah menjadi pusat pemerintahan dan pusat kerajaan. Raja Faruk, raja terakhir Mesir yang digulingkan Gamal Abdul Nasser pada 1952, juga mempunyai istana di dalam benteng. Selain monumen militer, yang menarik adalah Masjid Mohamad Ali. Semua tembok dan lantainya dilapisi alabaster, sejenis marmer. Berkonstruksi model Ottoman (Turki), masjid yang dibangun pada 1830 tersebut dibuat sangat megah dan tinggi. Tinggi bangunannya saja 52 meter, sementara kedua menaranya menjulang setinggi 84 meter.

Karena benteng tempat masjid itu berdiri sudah setinggi 30 meter, dari seluruh penjuru Kairo, masjid dan menaranya pasti terlihat. Bagian yang paling mencuri perhatian dari bagunan itu adalah sekujur marmer yang menempel di tembok. ''Ada yang bilang bahwa marmer tersebut dicungkil oleh Mohammad Ali dari Piramida Chevren. Terus marmernya ditempelkan di sekujur tembok masjid,'' kata Syamsul Alam.

Cerita pembangunan masjid itu juga menarik. Pada 1825, Mohammad Ali, raja Mesir saat itu, merasa terancam dengan banyaknya kepala suku di negaranya. Ali khawatir sewaktu-waktu suku-suku tersebut memberontak. Karena itu, berdalih menggelar jamuan makan malam, Mohammad Ali mengundang 520 kepala suku tersebut. Setelah makan, mereka dibiarkan pulang. Namun, menjelang keluar benteng, pintunya ditutup, dan ratusan penembak jitu keluar dari atas genting dan membunuh ke-520 kepala suku tersebut.

Setelah peristiwa yang dikenal sebagai "pembantaian di dalam benteng" itu, Mohammad Ali merasa menyesal. Maka, untuk mengurangi beban dosanya, Mohammad Ali membangun masjid megah tersebut.

Untuk mengelilingi Benteng Salahudin, sebaiknya pelancong menyediakan hari khusus. Mengelilingi lahan seluas 10 hektare tentu saja membuat kaki pegal. Namun, tetap saja Benteng Salahudin menjadi tempat yang paling banyak dikunjungi setelah piramid.

''Yang paling banyak adalah wisatawan asing, terutama dari Asia. Jumlahnya dua juta orang per tahun,'' tutur Nasheem.

Namun, bukan berarti berwisata di Benteng Salahudin itu tak ada kekurangannya. Kesan Jawa Pos, petugas Mesir yang berjaga di benteng itu lebih banyak melarang daripada memberikan informasi atau saran. Selain itu, para petugasnya lebih suka memasang tampang seram daripada senyum ramah. ''La, la, la, No photo,'' bentak seorang petugas yang berdiri di istana kerajaan di dalam benteng saat tahu Jawa Pos membawa kamera.

Begitu pula di museum militer. Para petugas di sana lebih sibuk melarang ini-itu, kemudian berdiri memelototi pengunjung ketimbang memberikan penjelasan dengan ramah. Terkesan, mereka memandang wisatawan lebih sebagai orang yang akan merusak barang-barang di museum. Bukan tamu yang harus dilayani. Memotret boleh, tapi untuk masuk dengan membawa kamera ke dalam areal museum harus membayar lagi lima pound (Rp 10 ribu).

Ketika saya tanyakan kepada Nasheem, mengapa sudah bayar di pintu masuk benteng, tapi harus membayar lagi bila membawa kamera ke museum, Nasheem hanya tertawa. ''Itu memang sudah aturannya,'' ucapnya. Rupanya, Nasheem sendiri juga tak mengetahui mengapa aturan itu dibuat.

Soal ticketing juga agak janggal. Perbedaan harga tiket masuk antara orang Mesir dan orang asing pun mencolok. Ada tiga harga tiket. Orang Mesir cukup bayar dua pound (sekitar Rp 4 ribu), pelajar asing dibanderol 30 pound (Rp 60 ribu), sedangkan turis asing ditarik 60 pound (Rp 120 ribu).

Nasheem mengakui, pemerintahnya sengaja membuat regulasi seperti itu sebagai bagian dari peningkatan kesejahteraan. ''Anda tahu sendiri kan bahwa gaji pegawai negeri di sini sangat terbatas,'' tuturnya. Standar gaji pegawai di Mesir memang kecil. Antara 500 pound sampai dengan 1.500 pound per bulan. Makanya, tak heran apabila sopir taksi di sini sebagian besar pekerjaan sambilan. Tak jarang, orang bergelar S-2 pun menjadi sopir taksi, karena pendapatan dari pekerjaannya terlalu mepet.

Namun, saya tetap kurang bisa menerima perbedaan tarif semencolok seperti saat masuk Benteng Salahuddn. Antara Rp 4 ribu dengan Rp 120 ribu. Bangsa Mesir terkesan lebih memprioritaskan bangsanya sendiri dibanding orang asing. Di restoran, misalnya, beberapa kali saya yang pesan dulu harus "kalah cepat" dengan tamu orang Mesir yang datang belakangan. (bersambung)

Wartawan jawapos meliput Mesir


Mengunjungi Mesir, Negeri dengan Banyak Situs Spektakuler (1)
Tari Darwish Berpadu Tari Perut di Sungai Nil

Memiliki banyak situs yang memesona dunia, Mesir adalah negeri yang menjadikan pariwisata sebagai salah andalan meraih devisa. Tahun lalu lebih dari 10 juta turis yang berkunjung ke sana. Bagaimana mereka mengemas industri pariwisatanya?

KARDONO SETYO, Kairo

KAPAL pesiar MS Aquarium yang kami tumpangi berjalan perlahan menyusuri Sungai Nil yang membelah Kota Kairo. Berangkat sekitar pukul 19.30, dari dek kapal bangunan-bangunan bertingkat modern di tepi sungai itu terlihat indah. Beraneka lampunya memantulkan bayangan di sungai terpanjang di dunia itu (6.650 kilometer).

Suasana di kabin kapal tak kalah meriah. Malam itu, lebih dari setengah jam Fauzi, sang penari di kapal, harus memutar tubuhnya. Rok lebar berangka kayu seberat 40 kilogram berbentuk lingkaran itu seolah bernyawa. Awalnya memang perlahan. Bertumpu pada kaki kanan, dia terus berputar. Bahkan, dalam kecepatan tinggi.

Fauzi kemudian mengangkat satu sisi rok berbentuk lingkaran ke atas. Pemandangan yang tersaji mengundang decak kagum. Seperti manusia yang berputar di antara dua kepungan jamur raksasa. Penonton yang kebanyakan turis dari Jepang pun bertepuk tangan.

Tari At-tanoura (tarian darwish) berputar memang memesona. Melalui gerakannya, Fauzi bercerita tentang perjalanan hidup Maulana Jalaluddin Rumi, sufi besar Turki abad ke-13 yang juga pendiri ordo darwish berputar.

Memulai gerakan memutarnya dengan perlahan, Fauzi bercerita mengenai Rumi yang mula-mula "hanya" seorang ahli hukum fikih di Konya. Fauzi mulai bergerak cepat ketika Rumi bertemu Syams'i Tabriz, seorang mistikus pengembara yang kemudian menjadi "kekasih spiritualnya".

Dengan indahnya Fauzi menggambarkan saat-saat berkembangnya Rumi menjadi mistikus dengan berputar seraya membawa empat rebana sekaligus. Dengan masih berputar pula, Fauzi memainkan rebana itu seperti sedang trance.

Berpuisi dan menari, itulah hari-hari Jalaluddin Rumi ketika menjadi mistikus. Fauzi kemudian terus berputar lebih cepat, lebih cepat, dengan tangan dan kepala menengadah seperti berdoa, dan dengan sebuah sentakan keras dan irama musik mengentak, Fauzi tiba-tiba berhenti. Penonton juga tersentak. Seperti ikut naik mobil kecepatan tinggi tiba-tiba mobil direm mendadak.

Setelah menari itu, peluh membasahi sekujur tubuh Fauzi. Meski berputar lebih dari setengah jam, kesimbangannya tak terlihat goyah. ''Kuncinya ada pada poros kaki. Dengan berputar tepat, kepala dan kaki membentuk satu poros, maka tidak akan pusing,'' ucap Fauzi kepada Jawa Pos ketika ditemui usai pentas.

''Juga jangan sering-sering berkedip bila menari. Nanti tambah pusing,'' tambahnya membuka sebagian rahasia bagaimana teknik menari darwish yang baik.

Pertunjukan live show menyusuri Sungai Nil belum berakhir. Yang membuat geleng-geleng kepala, usai tari sufi yang begitu mistis dan menggugah spiritual, pertunjukan selanjutnya malam itu adalah raqsah syarqiyyah. Arti harafiahnya adalah "tari timur", namun nama populernya adalah tari perut.

Seorang penari bertubuh sintal dengan pakaian minim keluar. Diiringi musik gambus yang mendayu, wanita itu kemudian menggoyangkan bagian perutnya. Meski masih kalah seronok dibanding goyang ngebor atau sederet goyang lain di Indonesia, tari perut adalah tarian yang mengandalkan sensualitas.

Sang penari pun mendatangi penonton dan berharap dapat saweran alias tip. Saya tak habis mengerti, mengapa tari sufi yang suci dan agung disandingkan head to head dengan tari perut. ''Siapa namanya?'' bisik saya ke Ahmad, pemain seruling yang kebetulan duduk dekat saya.

''Randa. Dia sudah janda. Mengapa, tertarik?'' goda Ahmad. Saya menggeleng dan kemudian tertawa dalam hati mengingat namanya cocok dengan statusnya. Sebab, kalau di Jawa, kata rondo artinya wanita yang sudah janda.

Sejak zaman Fir'aun ribuan tahun lalu, Sungai Nil selalu membawa berkah kepada warga yang menghuni sekitarnya. Kapal pesiar itu menjadi salah satu contohnya. Dengan tiket seharga 100 pound Mesir (sekitar Rp 200 ribu), perjalanan menyusuri sungai sepanjang 10 kilometer dalam waktu dua jam itu tergolong mahal. Fasilitas yang didapat hanya makan malam ala kadarnya dan itu tadi, live show dua sajian tarian "batin" yang berbeda arah tersebut.

Namun, kapal berkapasitas 200 penumpang itu tak pernah sepi. Paling sepi, dua per tiga kursinya selalu terisi. ''Bahkan, harus reservasi dulu sehari sebelumnya bila pada puncak musim liburan,'' kata staf bidang penerangan sosial budaya KBRI Mesir Amir Syarif.

Padahal, ada tujuh kapal yang melayani pesiar di Sungai Nil tersebut. Setiap hari kapal itu membuka dua kali pelayaran. Yang pertama pukul 19.30 hingga pukul 21.30. Sedangkan "kloter" berikutnya pukul 22.00 hingga pukul 24.00. Karena hanya berlayar malam hari, konsep hiburan yang diterapkan di kabin kapal memang bersifat "hiburan malam".

Bagi pelancong yang berkantong tipis, masih ada alternatif. Mereka bisa memilih puluhan kapal kecil yang mau melayani pelayaran selama satu jam dengan tarih 20 pound (sekitar Rp 40 ribu) per orang.

Meski relatif mahal, kapal-kapal pesiar itu selalu menjadi jujukan para turis. Namun, yang terbanyak tentu saja turis asing. Senin (2/2) lalu, saat saya naik kapal tersebut, yang dominan adalah rombongan turis dari Jepang. Mereka menyewa satu lantai khusus di kapal tiga tingkat itu (lantai dua untuk ruang makan dan pertunjukan, sedangkan lantai paling atas adalah dek).

Menurut penuturan seorang staf lokal KBRI, banyak pejabat Indonesia yang saat berkunjung ke Kairo mem-booking kapal tersebut. Seperti pada 2004, seorang menteri membawa rombongan pengusaha dan mem-booking satu kapal.

''Sebagai tambahan, kalau live show sehari-hari hanya seorang penari, khusus malam itu langsung tiga penari. Sangat meriah suasananya,'' kata staf lokal yang menolak disebutkan namanya.

Bagi warga Kota Kairo, kawasan sekitar Sungai Nil juga menjadi tempat favorit untuk melepas lelah. Seperti Jalan Garden Hill yang setiap hari menjadi tongkrongan anak muda. Ada yang berfoto-foto di patung singa jembatan Dokki (baca: Do'i, Red). Banyak juga yang sekadar melewatkan malam di sepanjang pinggiran sungai.

Dengan penerangan yang temaram, pinggiran Sungai Nil memang tampak romantis. Memang tak ada kafe seperti di negara-negara maju. Tapi, banyak penjual teh atau kopi "gendong". Mereka hanya bermodalkan setermos air panas dan teh celup. Untuk seteguk teh harganya satu pound, sementara untuk kopi satu setengah pound.

Meski Mesir agak sekuler, tetap saja ada semacam polisi dari unit susila yang selalu berjaga dan mondar-mandir. Tujuannya memastikan pasangan-pasangan yang ada di sana tidak kebablasan memadu kasih di muka umum.

Penjagaan makin diperketat (terutama di jembatan Dokki) pada saat Juni-Juli. Bahkan, melibatkan tentara. ''Tepat pada saat pengumuman hasil ujian sekolah,'' kata Amir Syarif.

Takut ada remaja yang kebablasan merayakan kelulusan? Ternyata bukan. Tapi, karena tiap tahun selalu ada siswa bunuh diri dengan terjun dari jembatan Dokki ke Sungai Nil. Jumlahnya pun tak main-main. Lebih dari 10 kasus tiap tahun. Mereka umumnya para pelajar yang nilai hasil akhir ujiannya jelek. ''Di Mesir, nilai jelek saat kelas tiga SMA berarti tak bisa kuliah,'' kata Amir